Warga kampung Wawotobi di tahun 1958-an ketika itu sedang dicekam
perasaan takut akibat invasi gerombolan DI/TII yang melakukan pembakaran
kampung-kampung orang Tolaki mulai dari belantara Latoma, Lambuya, lalu
ke-pemukiman warga di Wawotobi hinga ke wilayah Pondidaha. Waktu itu,
Asisten Wedana Wawotobi – Abunawas – tak bisa berbuat apa-apa menghadapi
gerombolan bersenjata DI/TII karena markas TNI terkonsentrasi jauh di
Makassar dan di Kendari, apalagi ketika itu istrinya sedang hamil tua.
Di tengah situasi mencekam itu, tepatnya pada tanggal 11 September 1958,
di kampung Inalahi atau lebih dkenal dengan istilah kambo dawa, Siti
Djuhariah – istri kedua Abunawas - melahirkan seorang putra yang lalu
diberi nama Lukman Abunawas (LA). Menghindari suasana mencekam di
Inalahi, Abunawas mengungsikan keluarganya (termasuk LA) ke kampung
Palarahi selama setahun.
Pada usia yang masih bayi (satu tahun),
LA diboyong kedua orang tuanya ke Kolaka menyusul pengangkatan ayahnya –
Aboenawas – sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Kolaka. Tinggal di
rumah pamannya –Tahir – suami dari kakak tertua Almarhum Andry Djufry
(mamanya Suri), si-kecil LA berada dalam buaian kasih sang ibu yang
selama setahun penuh menemani sang suami bertugas di Kolaka.
Di
penghujung tahun 1960, dari Kolaka, si kecil LA kembali diboyong kedua
orang tuanya ke-Kendari dan menempati sebuah rumah sederhana di desa
Lahundape (sekarang berstatus kelurahan). Saat itu, sang ayah Aboenawas
mendapat posisi baru sebagai kepala Badan Pemerintah Harian (BPH)
Kendari hingga tahun 1968. Tiga tahun bermukim di desa Lahundape,
memasuki usia yang ke-5 tahun atau tepatnya pada tahun 1963, LA
mengikuti kedua orang tuanya pindah rumah ke perumahan kantor daerah di
desa Kemaraya (sekarang kelurahan Watu-Watu). Di rumah Dinas yang
setelah beberapa tahun kemudian berubah status menjadi milik pribadi
sang Ayah itulah, LA melewati masa kecilnya di tengah suasana warga
sekitar yang umumnya beretnik Tolaki dan Torete.
Tahun 1964, di
usianya yang menjelang 7 tahun, LA yang waktu itu sering dipanggil
dengan nama Tore, dimasukkan ke SD Negeri Kemaraya. Tumbuh sebagai anak
bertubuh atletis, lincah dan sedikit nakal, LA di masa itu sering
bermain bola lemon bersama teman-temannya di sela-sela pepohonan hutan
semak. Selain bermain bola, LA di masa kecilnya juga punya hobby
memanjat pohon. Di tengah keranjingan bermain bersama teman-temannya
itu, LA pernah mengalami nasib sial di usianya yang ke-8 tahun atau di
saat duduk di bangku SD kelas II. Di awal tahun 1966 ketika itu,
bertepatan dengan pembangunan rumah dinas Gubernur Sultra yang terletak
tak jauh dari rumahnya di Watu-Watu, saat sedang asyik bermain di bawah
pohon nangka, tubuh LA tiba-tiba tertimpa sebuah batang kelapa berukuran
cukup besar yang rubuh dari arah atas kepalanya menembus dedaunan pohon
nangka. Spontan LA mengalami luka di sekujur tubuhnya hiingga mengalami
patah tulang di bagian kaki. Sang ibu yang sempat histeris mengetahui
kejadian itu, langsung melarikan LA ke rumah sakit Abunawas di Kota
lama. Di tempat ini, LA sempat menjalani masa opname selama tiga bulan.
Setelah melewati musibah itu, tahun-tahun berikutnya berada di bangku
sekolah dasar, LA diceritakan bertambah rajin belajar. Ia beberapa kali
menjadi juara 1 di kelas. Kecerdasan LA terutama ttergambar saat berada
di kelas IV. Saat hendak memasuki kelas berkutnya, oleh wali kelasnya
ketika itu, LA langsung digenjot untuk duduk di kelas VI tanpa melalui
kelas V.
Tamat SD tahun 1969, atau setahun setelah sang ayah
menjabat sebagai Bupati Kendari, LA masuk ke SMP Negeri I Kendari di
tahun yang sama. Selain tekun belajar atas dorongan keras sang ibu yang
juga seorang guru, sebagaimana kebiasaan sebelumnya di bangku SD, LA
sangat hobby bermain bola. Di jam-jam keluar main, LA hampir tak pernah
luput bermain bola bersama teman-temannya di halaman bagian dalam
bangunan sekolah. Naik ke bangku SMP kelas III, LA mulai berkenalan
dengan seni beladiri. Bersama beberapa teman sekelasnya, termasuk Nurlan
Samad, mantan camat Sampara, LA mengikuti latihan Karate Kontau (ketika
itu populer dengan sebutan KK) pada seorang guru di desa Andaroa
bernama La Hali. Sejak saat itu hingga tahun-tahun sesudahnya, bahkan
hingga sekarang saat buku ini ditulis, LA dikenal sangat aktif mengikuti
berbagai sesi latihan seni beladiri, utamanya karate.
Masuk ke
SMA Negeri 1 Kendari setelah tamat SMP tahun 1972, atas dorongan sang
Ayah yang tengah menjabat sebagai Bupati Kendari, LA mulai aktif dalam
berbagai kegiatan organisasi di sekolah dengan menjadi pengurus inti
OSIS. Selain itu, ia juga masuk menjadi anggota dan aktif dalam berbagai
kegiatan Pramuka. Mengikuti event-event camping (berkemah) dan jelajah
hutan (cross-country) ke daerah pegunungan dan pesisir laut, menjadi
kegiatan yang paling digandrungi LA selama menjadi siswa SMA Negeri I
Kendari. Di sekolah ini, ia juga berlajar berpidato dan berinteraksi
dengan rekan-rekannya dari berbagai daerah asal, seperti dengan Insana
Maliki (sekarang Sekda Buton), Abdullah Mundu, Andrias Sikata, Syam
Abdul Jalil hamra (mantan Ketua KPU Kota Kendari) dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar