Rabu, 22 Februari 2017

MASA KECIL HINGGA BERANJAK REMAJA

H.Lukman Abunawas & Hj. Yati Lukman
Warga kampung Wawotobi di tahun 1958-an ketika itu sedang dicekam perasaan takut akibat invasi gerombolan DI/TII yang melakukan pembakaran kampung-kampung orang Tolaki mulai dari belantara Latoma, Lambuya, lalu ke-pemukiman warga di Wawotobi hinga ke wilayah Pondidaha. Waktu itu, Asisten Wedana Wawotobi – Abunawas – tak bisa berbuat apa-apa menghadapi gerombolan bersenjata DI/TII karena markas TNI terkonsentrasi jauh di Makassar dan di Kendari, apalagi ketika itu istrinya sedang hamil tua. Di tengah situasi mencekam itu, tepatnya pada tanggal 11 September 1958, di kampung Inalahi atau lebih dkenal dengan istilah kambo dawa, Siti Djuhariah – istri kedua Abunawas - melahirkan seorang putra yang lalu diberi nama Lukman Abunawas (LA). Menghindari suasana mencekam di Inalahi, Abunawas mengungsikan keluarganya (termasuk LA) ke kampung Palarahi selama setahun.

Pada usia yang masih bayi (satu tahun), LA diboyong kedua orang tuanya ke Kolaka menyusul pengangkatan ayahnya – Aboenawas – sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Kolaka. Tinggal di rumah pamannya –Tahir – suami dari kakak tertua Almarhum Andry Djufry (mamanya Suri), si-kecil LA berada dalam buaian kasih sang ibu yang selama setahun penuh menemani sang suami bertugas di Kolaka.

Di penghujung tahun 1960, dari Kolaka, si kecil LA kembali diboyong kedua orang tuanya ke-Kendari dan menempati sebuah rumah sederhana di desa Lahundape (sekarang berstatus kelurahan). Saat itu, sang ayah Aboenawas mendapat posisi baru sebagai kepala Badan Pemerintah Harian (BPH) Kendari hingga tahun 1968. Tiga tahun bermukim di desa Lahundape, memasuki usia yang ke-5 tahun atau tepatnya pada tahun 1963, LA mengikuti kedua orang tuanya pindah rumah ke perumahan kantor daerah di desa Kemaraya (sekarang kelurahan Watu-Watu). Di rumah Dinas yang setelah beberapa tahun kemudian berubah status menjadi milik pribadi sang Ayah itulah, LA melewati masa kecilnya di tengah suasana warga sekitar yang umumnya beretnik Tolaki dan Torete.
Tahun 1964, di usianya yang menjelang 7 tahun, LA yang waktu itu sering dipanggil dengan nama Tore, dimasukkan ke SD Negeri Kemaraya. Tumbuh sebagai anak bertubuh atletis, lincah dan sedikit nakal, LA di masa itu sering bermain bola lemon bersama teman-temannya di sela-sela pepohonan hutan semak. Selain bermain bola, LA di masa kecilnya juga punya hobby memanjat pohon. Di tengah keranjingan bermain bersama teman-temannya itu, LA pernah mengalami nasib sial di usianya yang ke-8 tahun atau di saat duduk di bangku SD kelas II. Di awal tahun 1966 ketika itu, bertepatan dengan pembangunan rumah dinas Gubernur Sultra yang terletak tak jauh dari rumahnya di Watu-Watu, saat sedang asyik bermain di bawah pohon nangka, tubuh LA tiba-tiba tertimpa sebuah batang kelapa berukuran cukup besar yang rubuh dari arah atas kepalanya menembus dedaunan pohon nangka. Spontan LA mengalami luka di sekujur tubuhnya hiingga mengalami patah tulang di bagian kaki. Sang ibu yang sempat histeris mengetahui kejadian itu, langsung melarikan LA ke rumah sakit Abunawas di Kota lama. Di tempat ini, LA sempat menjalani masa opname selama tiga bulan.

Setelah melewati musibah itu, tahun-tahun berikutnya berada di bangku sekolah dasar, LA diceritakan bertambah rajin belajar. Ia beberapa kali menjadi juara 1 di kelas. Kecerdasan LA terutama ttergambar saat berada di kelas IV. Saat hendak memasuki kelas berkutnya, oleh wali kelasnya ketika itu, LA langsung digenjot untuk duduk di kelas VI tanpa melalui kelas V.
Tamat SD tahun 1969, atau setahun setelah sang ayah menjabat sebagai Bupati Kendari, LA masuk ke SMP Negeri I Kendari di tahun yang sama. Selain tekun belajar atas dorongan keras sang ibu yang juga seorang guru, sebagaimana kebiasaan sebelumnya di bangku SD, LA sangat hobby bermain bola. Di jam-jam keluar main, LA hampir tak pernah luput bermain bola bersama teman-temannya di halaman bagian dalam bangunan sekolah. Naik ke bangku SMP kelas III, LA mulai berkenalan dengan seni beladiri. Bersama beberapa teman sekelasnya, termasuk Nurlan Samad, mantan camat Sampara, LA mengikuti latihan Karate Kontau (ketika itu populer dengan sebutan KK) pada seorang guru di desa Andaroa bernama La Hali. Sejak saat itu hingga tahun-tahun sesudahnya, bahkan hingga sekarang saat buku ini ditulis, LA dikenal sangat aktif mengikuti berbagai sesi latihan seni beladiri, utamanya karate.

Masuk ke SMA Negeri 1 Kendari setelah tamat SMP tahun 1972, atas dorongan sang Ayah yang tengah menjabat sebagai Bupati Kendari, LA mulai aktif dalam berbagai kegiatan organisasi di sekolah dengan menjadi pengurus inti OSIS. Selain itu, ia juga masuk menjadi anggota dan aktif dalam berbagai kegiatan Pramuka. Mengikuti event-event camping (berkemah) dan jelajah hutan (cross-country) ke daerah pegunungan dan pesisir laut, menjadi kegiatan yang paling digandrungi LA selama menjadi siswa SMA Negeri I Kendari. Di sekolah ini, ia juga berlajar berpidato dan berinteraksi dengan rekan-rekannya dari berbagai daerah asal, seperti dengan Insana Maliki (sekarang Sekda Buton), Abdullah Mundu, Andrias Sikata, Syam Abdul Jalil hamra (mantan Ketua KPU Kota Kendari) dan lain-lain.
Tak pernah merasa ingin diperlakukan lebih sebagai anak penjabat, melewati usia remaja di SMA Negeri 1 Kendari, LA selalu tampil sederhana dan bergaul dengan teman-teman sebayanya tanpa memadang kelas ekonomi dan status sosial. Di luar sekolah, LA sering terlihat bersama anak-anak muda Torete bermain ke hutan gunung Nipa-Nipa dan berenang (mandi-mandi ) ke laut sambil sesekali naik kei atas bagang milik para nelayan di teluk Kendari. Tumbuh di lingkungan sosial yang beragam di tengah suasana alam yang masih asri, telah ikut membentuk pribadi LA sebagai sosoik remaja yang luwes, adaptif dan ‘datar’ dalam bergaul. Pribadi seperti ini juga ikut dibentuk oleh kasih sayang sang ibu yang, dibanding dengan sang ayah yang memiliki banyak kesibukan di luar, lebih banyak mencurahkan waktu bersamanya di dalam rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar